Selasa, 17 Agustus 2010

Psikologi Perkembangan : Mewaspadai Stres Pengasuh


Permasalahan para pengasuh anak itu sendiri merupakan ragam bentuknya, tetapi kegiatan mengasuh anak itu sendiri merupakan salah satu permasalahan penting yang layak untuk dicermati. Stres pengasuhan anak menimbulkan beban tersendiri bagi para pengasuh. Adakalanya stres tersebut mengubah sikap pengasuh terhadap anak sehingga mempengaruhi perilaku pengasuhnya. Para pengasuh anak harus mewaspadai berbagai kemungkinan yang membuat diri mereka mengalami stres dalam melakukan pengasuhan anak, dan mereka harus sesegera mungkin mencari solusi untuk mengatasi stres tersebut agar tidak mencemari sikap dan tindakan pengasuhan mereka.

Tantangan Pengasuh
Kegiatan mengasuh anak pada umumnya memiliki landasan tujuan yang sama, yaitu
  1. Memberikan landasan kehidupan keluarga pada anak-anak,
  2. Agar kelak anak menjadi adaptif dalam menyiasati kehidupan mereke,
  3. Menanamkan sikap disiplin pada anak, dan
  4. Membangun rasa percaya diri anak (Honing, 2000).
Sejumlah orang tua dapat bersyukur bahwa mereka tak terlalu sulit menanamkan landasan kehidupan keluarga pada anak, mendidik anak menjadi lebih adaptif, mendisiplinkan anak dan membangun rasa percaya diri mereka. Akan tetapi, tantangan perubahan zaman dan pengaruh lingkungan kehidupannya adakalanya menghambat proses pengasuhan orang tua atas diri anak-anak mereka (Honing, 2000).
Idealanya, pengasuh diharapkan dapat menjadi tokoh teladan bagi anak-anak. Namun, akibat tekanan-tekanan yang mereka rasakan akibat kegiatan mengasuh, disamping keterbatasan pendidikan yang mereka peroleh, para pengasuh cenderung memperlakukan anak dengan kata-kata kasar (termasuk mencemooh) dan adakalanya mereka menanamkan disiplin dalam diri anak dengan melakukan tindak kekerasan pada anak. Tekanan-tekanan akibat kegiatan mengasuh juga merupakan tantangan yang harus dihadapi berbagai bidang usaha, karena stress pengasuhan disinyalir memiliki keterkaitan yang cukup eraty dengan produktivitas kerja (Robinson, Barbee, Martin, Singer, Yegidis, & Bonnie, 2003).

                                                                                                         


Tantangan Komunikasi dalam Pengasuhan
            Pada umunya, orang tua berharap bahwa anak-anak mereka dapat tumbuh berkembang sebagai generasi tangguh. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa anggota keluarga memiliki peran penting dalam memberikan dukungan bagi anak-anak dalam proses perkembangan mereka. Johnson-Garner dan Meyers (2003) melakukan studi atas perlakuan penting para pengasuh dari kalangan anggota keluarga kulit hitam di Amerika Serikat. Mereka menemukan adanya permasalahan bahwa sebagian anak-anak yang diasuh oleh angoota keluarga menunjukkan tingkat ketangguhan pribadi (resilient) yang lebih tinggi, sementara sebagian anak-anak lainnya menunjukkan pribadi yang sangat rentan (nonresilient), padahal mereka juga diasuh oleh anggota keluarga. Hasil kajian kuantitatif atas ketigapuluh keluarga tersebut menunjukkan cenderung menerima :
  1. Pola asuh yang lebih tersruktur, dengan
  2. Batasan-batasan perilaku yang jelas (clear boundaries), dan
  3. Peran yang jelas pula (well-defined roles).
Masalahnya adalah, menyusun pengasuhan yang tersruktur bukan merupakan pekerjaan yang mudah dan sederhana; demikian pula memberikan batasan yang jelas dan peran yang jelas tidak secara mudah dapat diimplementasikan, karena mungkin ada kesenjangan komunikasi antara orang dewasa selaku pengasuh dan anak-anak.
Hall, Burns, dan Pawluski (2003) menjelaskan bahwa pengasuh perlu mewaspadai pentingnya peran bahasa dalam memberikan pengasuhan kepada anak, karena label-label atau istilah-istilah yang dikemukakan oleh pengasuh pada anak akan mempengaruhi kelayakan anak dalam berkomunikasi dan mencerna informasi yang mereka terima. Hall et al (2003) juga menjelaskan bahwa orang tua atau pengasuh perlu memperkaya khazanah kosakata mereka sendiri karena kekayaan khazanah berbahasa pada orang tua adalh sumber informasi penting bagi anak dalam mengekspresikan diri mereka kelak. Keterbatasan kemampuan orang tua dalam bertutur kata pada anak akan menimbulkan keterbatasan tutur kata anak-anak mereka kelak, sementara keterbatasan kemampuan bertutur kata pada anak-anak mungkin menimbulkan kesenjangan komunikasi antara anak dan pengasuh.
Tantangan Mengasuh Anak-anak Bermasalah
            Kegiatan mengasuh itu sendiri mengandung berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh para pengasuh agar upaya ;
1.      Menanamkan landasan kehidupan keluarga pada anak-anak,
2.      Menjadikan anak lebih adaptif,
3.      Disiplin dan
4.      Percaya diri dalam kehidupan (Honing, 2000),
dapat tercapai dengan baik.
            Stres yang dihadapi oleh keluarga dalam mengasuh anak bermasalah bukan hanya ditentukan oleh kemampuan adaptif keluarga yang bersangkutan, tetapi juga dipengaruhi oleh pola perilaku anak-anak bermasalah tersebut (Hastings, 2002). Melakukan upaya pengasuhan sendiri adakalanya menimbulkan beban tertentu bagi sejumlah keluarga, karena waktu yang mereka gunakan untuk mengasuh harus disesuaikan dengan waktu kerja mereka. Sama sekali meninggalkan pekerjaan berarti mereka kehilangan penghasilan yang cukup besar. Kalaupun mereka bekerja paro waktu guna memberikan pengasuhan paro waktu bagi anak-anak mereka, hal ini tidak mencukupi pada wilayahnya masing-masing. Bekerja paro waktu tentu saja memberikan penghasilan yang terbatas dibandingkan bekerja penuh. Sementara itu, mengasuh paro waktu juga menimbulkan pertanyaan kepada siapa pengasuhan paro waktu lainnya harus diberikan.

Stres Mengasuh
Stres dialami oleh setiap individu dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, stres mengasuh, khususnya dalam pengasuhan anak, memiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan tersebut meliputi :
1.      Kondisi anak (termasuk perilaku anak yang menyimpang),
2.      Kondisi kehidupan menyeluruh yang menimbulkan stres,
3.      Dukungan social,
4.      Fungsi keluarga, dan
5.      Sumber material (Brannan & Heflinger, 2001).
Karenanya, seorang pengasuh harus siap menghadapi kelima kekhasan stres pengasuhan tersebut dalam memberikan pengasuhan kepada anak.
            Stres kehidupan secara umum yang dialami oleh keluarga akan menambah beban stres dalam memberikan pengasuhan kepada anak. Keluarga merupakan lingkungan social utama tempat berkembangnya seorang anak. Apabila keluarga mengalami stress, lingkungan hidup anak memperoleh tekanan, dan tekanan tersebut juga dirasakan oleh anak selaku anggota keluarga yang bersangkutan; karenanya, anakpun akan mengalami stres. Dukungan social berperan besar bagi pengasuh dalam mengalami stres pengasuhan. Jika pengasuh merasa dirinya sendirian dalam menyandang tanggung jawab pengasuhan, ia merasakan stres yang dialaminya demikian besar.
            Fungsi keluarga menyangkut “keberdayaan” anggota keluarga dalam menjalankan fungsi perannya masing-masing. Apabila anggota keluarka mengalami hambatan dalam memfungsikan peran mereka, tugas pengasuhan akan dirasakan lebih berat. Stres pengasuhan tidak akan dirasakan terlalu membebani jika makanan, pakaian, dan fasilitas tempat tinggal mencukupi kebutuhan anak-anak dalam proses perkembangannya. Sementara itu, para pengasuh menghadapi kesulitan meredam anak-anak mengotori dinding rumah denga coretan, karena anak-anak tersebut juga terdorong untuk mengekspresikan diri mereka.

1.      Stres Kakek dan nenek
Stres yang dialami kakek dan nenek dalam mengasuh cucu mereka relative kompleks. Pada umumnya stres kakek dan nenek dalam memberikan pengasuhan pada cucu mereka meliputi :
1.      Stres berkenaan dengan masalah keuangan,
2.      Stres berkenaan dengan masalah keluarga, dan
3.      Stres berkenaan dengan masalah hokum (Waldrop & Weber, 2001).
Waldrop dan Weber (2001) melakukan penelitian atas 54 pengasuh yang terdiri atas 37 nenek dan 17 kakek; mereka memperoleh gambarab bahwa kakek-nenek mengatasi permasalah pengasuhan mereka dengan :
  1. Berbicara dari hati ke hati,
  2. Melakukan pendekatan lewat jalur religi,
  3. Menekankan kepentingan para cucu mereka,
  4. Meminta bantuan dari pihak lain, dan
  5. Melakukan hal-hal lainnya yang sesungguhnya kurang berkenan (less desirable means).
Langkah-langkah yang dilakukan tersebut berpeluang membantu kakek-nenek mengatasi stres mereka, tetapi adakalanya upaya tersebut tidak membuahkan hasil seperti harapan mereka sehingga mereka mengambil langkah yang bagi banyak pihak dianggap kurang berkenan.
2.      Stres Ibu
Peran ganda dalam menjalani kehidupan social merupakan salah satu stres tersendiri bagi para orang tua yang harus menghadapiproses individuasi anak-anak mereka (Chasteen & Kissman, 2000; Stephens, Townsend, Martire, & Druley, 2001). Bunton et al. (2001) melakukan penelitian atas 112 ibu dari anak-anak berusia 14-52 bulan, 58 (51,8%) anak menderuta cerebral palsy, 19 (17%)  anak menderita epilepsy, dan 35 (31,3%) tidak mengalami gangguan apapun. Hasil penelitian menunjukkan :
1.      Apabila ibu merasa pengasuhannya terlalu diintervensi oleh pihak lain, mereka lebih cenderung mangabaikan anak-anak, sekalipun mereka merasakan kecemasan dan penderitaan yang lebih besar,
2.      Semakin ibu merasa tidak berdaya menghadapi anak-anak mereka, semakin ibu tidak menaati petunjuk profesiona dalam melakukan tindakan pengasuhan.
Karenanya, Bunton et al. berpendapat bahwa dibutuhkan batasan yang jelas tentang hingga sejauh mana intervensi tenaga professional dan bantuan keluarga dapat diberikan.
3.      Stres “Pengasuh”
Istilah “pengasuh” pada bagian ini mengacu pada orang-orang yang bertugas mengasuh anak, baik mereka yang berasal dari lenbaga professional maupun tidak. Penggunaan kata ‘pengasuh” sering dikaitkan dengan pengertian bahwa mereka tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan anak yang di asuh, tetapi mereka tinggal di dalam rumah keluarga yang bersangkutan. Para orang tua berharap bahwa pengasuh secara implisit telah memahami hal-hal yang dikehendaki oleh oran tua dan para pengasuh pun ragu mempertanyakan lebih lanjut tentang apa yang harus dan tak layak mereka lakukan.

Dampak Stres pengasuh
Stres mempengaruhi perilaku manusia, dan stres yang dialami pengasuh mempengaruhu perhatian pengasuh terhadap anak-anak yang diasunya. Dampak stres pengasuhan atas masalah perkembangan anak dikemukakan oleh Brannan, Heflinger, da Foster (2003). Mereka melakukan penelitian atas 574 anak berusia 5-17 tahun yang memperoleh layanan kesehatan mental serta pengasuh anak-anak tersebut yabg berusia 20-39 tahun. Dari penelitian yang mereka lakukan diperoleh gambaran bahwa jenis stres yang dialami oleh para pengasuh anak-anak tersebut terkait dengan jenis layanan mental yang diterima oleh anak-anak. Hasil ini menunjukkan bahwa para orang tua harus mewaspadai stres pengasuh karena stres yang dialami pengasuh memberikan dampak tertentu bagi anak-anak dan pada kondisi-kondisi tertentu dampak stres pengasuh menimbulkan gangguan psikologis pada anak.

Solusi
            Tantangan pengasuhan, stres pengasuhan, dan dampak stres pengasuh terhadap pengasuhan harus diwaspadai, karena jika pengasuh kurang memperhatikan kesejahteraan anak, apalagi bersikap reaktif terhadap anak, maka pada akhirnya anak jugalah yang mrnjadi korbannya. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mengatasinya diperlukan program pendidikan pengasuhan. Bradley et. al. (2003) melaporkan bahwa pada tahun 1998, 222 orang tua di Amerika Serikat yang memperoleh pendidikan pengasuhan secara langsung maupun melalui tayangan video psikoedukasional menunjukkan perbaikan dalam cara mereka mengasuh anak-anak. Setelah satu tahun dilakukan evaluasi ulang, ternyata masalah yang membebani diri anak-anak pun berkurang karena pengaruh pengasuhan yang lebih baik dari para orang tua mereka.
            Unger, Jones, Park, dan Tressel (2001) menjelaskan tentang sejumlah factor yang perlu diperhatikan dalam menyusun program intervensi atau program pendidikan pengasuhan. Faktor-faktor tersebut meliputi usia, fungsi keluarga, kebutuhan keluarga, pengetahuan keluarga atas perkembangan anak, dampak konflik rumah tangga, dan peran interaksi anak dari pengasuh. Wallace (2001) menjelaskan bahwa alternative lain yang akhir-akhir ini banyak ditempuh keluarga di Amerika Serikat dalam memberikan pengasuhan kepada anak adalah dengan melibatkan peran kakek-nenek untuk memberikan pengasuhan kepada cucu mereka, sementara orang tua memang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atau karena orang tua anak-anak tersebut bermasalah.
            Di dunia Timur seperti di Indonesia, keterlibatan kakek dan nenek dalam pengasuhan cucu sudah merupakan kejadian yang biasa, sedangkan di dunia Barat seperti Amerika Serikat, kondisinya tidak sama. Namun demikian, masalah yang harus diwaspadai oleh generasi kakek-nenek dalam member bantuan pengasuhan kepada orang tua anak-anak lebih kurang sama. Penelitian Svavarsdottir, McCubbin, dan Kane (2000) menunjukkan bahwa masalah stres pengasuhan dapat teratasi jika keluarga memiliki rasa kebersamaan dan ketangguhan dalam menghadapi tuntutan kehidupan. Konsep ini dikemukakan oleh Svavarsdottir dan rekan-rekannya sebagai factor ketangguhan atau resiliency factor yang terdiri atas :
  1. Koherensi (sense of coherence = SOC), dan
  2. Ketangguhan keluarga (family hardiness = FH)
Hasil penelitian mereka dilandaskan pada kajian atas 76 keluarga dengan taraf usia orang tua 22-51 tahun (75 ibu dan 62 ayah) dari anak-anak penderita gangguan pernapasan (asma) dengan tarf usia dari bayi hingga 6 tahun. Sekalipun penelitian ini terbatas pada kelurga yang nak-anaknya menderita asma, bukan gangguan lainnya, namun setidak-tidaknya penelitian ini memberikan gambaran atas pentingnya kebersamaan dan ketangguhan keluarga dalam menghadapi tuntutan kehidupan, khususnya dalam pengasuhan anak.





Object Relations Family Therapy bagi Keluarga Pasien  Skizofrenia
Skizofrenia : Gejala, Perjalanan Penyakit dan Prognosis
            Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini dotandai dengan simtom-simtom positif seperti bicara kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif, dan persepsi. Kecuali itu terdapat pula simtom negatif, seperti avolition (menurunnya minat dan dorongan), berkurangnya keinginan bicara, miskinnya isi pembicaraan, afek yang datar, serta terganggunya relasi personal (Strauss et. al.,1994; dikutip oleh Gabbard, 1994). Tampak bahwa sintom-sintom skizofrenia menimbulkan kendala berat dalam kemampuan individu untuk berpikir dan memecahkan masalah, kehidupan afek dan mengganggu relasi social.
            Prognosis untuk skizofrenia pada umunya kurang begitu menggembirakan. Sekitar 25% pasien dapat pulih dari episode awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat premorbid. Sekita r 25% tidak akan pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada di antaranya, ditandai dengan kekambuhan periodic dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu yang singkat.
            Pravalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1 persen dan biasanya timbul pada usia sekitar 18-45 tahun, namun ada juga yang baru berusia 11-12 tahun sudah menderita skizofrenia. Skizofrenia tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi individu pendertanya, tetapi juga bagi orang-orang yang terdekat denganya. Biasanya, keluargalah yang paling terkena dampak dari hadirnya skizofrenia di keluarga mereka.

Etilogi skizofrenia
            Skizofrenia telah hadir dalam sejarah manusia sejak zaman purba namun tetap menjadi misteri bagi para ahli. Pleh karena itu, skizofrenia selalu menjadi bahan kajian yang menarik dan tak henti-hentinya meunculkan penelitian dari berbagai disiplin dan dari berbagai mazhab yang ada. Dalam sejarahnya, telah muncul berbagai usaha mengatasi skizofrenia, dari cara yang ilmiah, cara yang bersifat coba-coba, hingga yang berbau takhayul.
1.      Somatogenesis Skizofrenia
Pandangan somatogenesis mengatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh factor genetic, abnormalitas otak, dan ketidakseimbangan neurotransmitter. Pandangan biologis ini didukung oleh banyak bukti empiris yang cukup meyakinkan. Terapi dengan obat-obatan medis telah berhasil menghilangkan sebagian simtom skizofrenia pada sebagian besar pasien, sehingga meskopun belum mampu mengatasi skizofrenia secara tuntas, terapi dengan obat telah menjadi terapi bagi skizofrenia.

2.      Psikogenesis Skizofrenia
Tulisan ini mencoba mengangkat salah satu sudut pandang tentang psikogenesis dan perjalanan penyakit skizofrenia, yaitu sudut pandang keluarga. Ada beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan penulis dalam mengambil sudut pandang ini.
    1. Suatu psikopatologi, apalagi psikopatologi berat seperti skizofrenia, merupakan hasil suatu proses yang panjang, bukan sesuatu yang terjadi dalam semalam.
    2. Apabila hanya ditujukan kepada pasien, treatment psikologis tampaknya kurang begitu efektif, terbukti dari tingkat kekambuhan yang cukup tinggi.
    3. Dalam sejarah teori-teori psikogenesis tentang skizofrenia, keluarga telah lama disangkutpautkan.
    4. Keluarga merupakan orang-orang yang terkena langsung dampak kehadiran skizofrenia dalam system mereka.
Atas dasar pertimbangan di atas, penulis bermaksud membuat suatu kajian tentang keluarga pasien skizofrenia yang sekiranya dapat memberikan kontribusi dan memperkaya wacana tentang keluarga pasien skizofrenia.

Konsep tentang Skizofrenia dan Psikologisnya menurut Object Relations Theori
            Salah satu alas an mengapa skizofrenia dianggap penyakit yang sangat berat adalah karena skizofrenia merampas dan merusak nilai-nilai paling mendasar dari kemanusiaan itu sendiri. Skizofrenia memutuskan relasi pendertanya dari orang-orang lain. Pasien skizofrenia dikatakan hidup di dunianya sendiri, dunia yang tak dikenal orang lain selain dirinya, dunia di mana tak ada orang lain selain dirinya, yaitu dunia tanpa relasi dengan orang lain.
            Kondisi keterpisahan dari relasi dengan orang lain yang dialami oleh pasien skizofrenia berakar pada gangguan dalam relasi paling awal, yaitu relasi antara bayi dengan pengasuhnya. Berikut merupakan beberapa pandangan object relations theorist tentang perkembangan skizofrenia.
  1. Pandangan Margaret Mahler
Margare Mahler mengatakan bahwa perkembangan kepribadian merupakan suatu proses individuasi yang meliputi etahap yang harus dilalui dari keadaan total merger dengan ibu yang disebut keadaan normal symbiosis hingga tercapainya consolidation of individuality.

  1. Pandangan D. W. Winnicott
Senada dengan Mahler, Winnnicott mengatakan bahwa seorang bayi dilahirkan dengan ptensi untuk memiliki individualitas atau kepribadian yang unik, yang dapat berkembang dalam suatu lingkungan yang menaungi dan responsive yang disediakan oleh seorang good enough mother.
  1. Pandangan Heinz Kohut
Tokoh lain, yaitu Heinz Kohut, mengemukakan hal yang maknanya hamper serupa, yaitu tentang pentingnya kehadiran self-object bagi pembentukan kepribadian yang sehat. Menurut Kohut, psikosis merupakan akibat adanya gangguan yang serius pada self, ketika tidak ada struktur defensive yang dapat mengatasinya.

Peranan Keluarga dalam pembentukan Kepribadian dan Psikogenesisi Skizofrenia
            Keluarga adalah “rahim” tempat hidup dan berkembangnya kepribadian para anggotanya. Proses mikroskopis yang terjadi dalam dunia intrapsikis (internal) individu sesungguhnya berlangsung dalam suatu konteks makro, yaitu dunia personal (eksternal) yang berlangsung dalam keluarga. Untuk menjelaskan tentang sebuah tesis, penjulis akan menggunakan beberapa karya object relations theorists (terutama karya Fairbairn dan Winnicott).


  1. Dinamika Hubungan Interpersonal dalam Keluarga sebagai External Object Relations
Keluarga adalah suatu system yang berisi sejumlah relasi yang berfungsi secara unik. Definisis tentang keluarga tersebut menegaskan bahwa hakikat keluarga adalah relasi yang terjalin di antara individui-individu, yang merupakan komponen-komponennya. Jadi, setiap anggota keluarga terhubungkan satu sama lain dalam suatu matriks relasi yang kompleks.
Centered Relating
      Centered relating adalah relasi yang paling mendalam di antara dua pribadi, yaitu suatu relasi psikologis dengan dasar fisik/biologis yang besar, yang didalamnya prototipenya adalah relasi antara ibu dan anak. Centered relating dibantu oleh fungsi mirroring ketika ibu mencerminkan pada bayi mood si bayi dan dampaknya pada ibu, sementara bayi mencerminkan kembali pada ibu apa pengalaman yang dirasakannya tentang mothering yang dilakukan ibu.

Centered Holding
      Terciptanya transitional space dan terciptanya centered relating merupakan hasil kontribusi aktif ibu dan bayi. Namun demikian, ibulah yang memegang tanggung jawab atas perkembangannya. Kemampuan ibu menyediakan ruang dan materi untuk centeres relating melalui physical handling dan mental preoccupation dengan bayi disebut centered holding.
Contextual Holding
      Contextual holding memberikan perluasan lingkungan dari kehadiran ibu, memberikan bayi bertumbuhnya kesadaran akan perasaan otherness-nya, namun hanya centered relating yang memberikan rasa keunikan individunya. Contextual holding terjadi pada berbagai tingkatan. Pada lingkaran terluar, ada tetangga, kemudian di lingkaran lebih dekat ada kakek-nenek dan kemudian keluarga. Lebih dalam lagi ada contextual holding yang diberikan ayah untuk ibu dan bayi. Lingkarantersalam adalah contextual holding yang diberikan/disediakan ibu untuk dirinya sendiri dan bayinya. Pada lingkaran ini adalah centeres holding yang di dalamnya ibu dan bayi berkomunikasi dan berinteraksi, saling berbagi, membangun dan mengubah dunia internal mereka melalui centered relationship.
  1. Pembentukan Kepribadian Intrapsikis Melalui Pembentukan Internal Object relations
Setelah kita meninjau konteks makro, yaitu external object relations yang terjalin dalam dinamika hubungan interpersonal keluarga, sekarang kita akan meninjau proses mikro yang terjadi dalam kehidupan ontrapsikis individu; dengan kata lain, kita akan meninjau kehidupan internal object relations. Menurut Fairbairn, pada mulanya bayi dilahirkan dengan suatu kepribadian potensial, yang totalitasnya disebut self. Saat lahir, sudah ada ego yang dapat berelasi dengan objek di lingkungan. Relasi seseorang dengan orang lain di lingkungan disebut external object relationship.
Proses selanjutnya adalah spilitting pada ego. Ego “terbelah” menjadi bagian yang serupa dengan self dan bagian yang mengidentifikasikan diri dengan external object; bagian ini kemudian disebut internal object. External object relationship dengan caretaker berlangsung di masa lalu, yaitu pada masa paling awal dalam kehidupan, namun external object relationship tersebut “terekam” dengan baik dalam self individu, berupa internal object relationship.

Gangguan pada Matriks keluarga Sebagai Penyebab Munculnya Skizofrenia
            Bila kepribadia tidak mendapatkan holding yang dibutuhkannya, maka ketegangan antara true dan false self akan menjadi besar. False self berkembang dalam kesadaran, sementara true self terkubur dalam ketidak sadaran sehingga tidak bersentuhan dengan realitas. Ketika ketegangan menjadi semakin besar, kepribadian menjadi rentan dan lemah. Bilamana ada suatu stres yang tidak dapat ditanggulangi oleh individu yang bersangkutan, terjadi split.

Keluarga Berperan dalam mendampingi Pasien skizofrenia menuju Kesejahteraan yang Lebih Baik
            Skizofrenia adalah penyakit yang sangat merusak, tidak hanya bagi orang yang terkena tetapi pada keluarganya juga. Beberapa study tentang masalah-masalah yang ditimbulkan pasien skizofrenia pada keluarganya yang paling sering muncul menurut Torrey, (1988) antara lain :
  • Ketidakmampuan untuk merawat diri
  • Ketidakmampuan menangani uang
  • Social withdrawal
  • Kebiasaan-kebiasaan pribadi yang aneh
  • Ancaman bunuh diri
  • Gangguan pada kehidupan keluarga, misalnya pekerjaan, sekolah, jadwal social, dan lain-lain
  • Ketakutan atas keselamatan baik pasien maupun anggota keluarga
  • Blame and shame
Bilamana suatu system mendapatkan tantangan atau ancaman, system akan bereaksi dengan berusaha mengamankan dan mengkonsolidasikan energy untuk menghadapi ancaman tersebut. Pemusatan energy pada upaya defensive justru akan melemahkan system dan secara jangka panjang akan menguras energy yang dimiliki serta pada gilirannya mengancam integritas system itu sendiri.
Kebutuhan Keluarga
            Tentunya tidak sedikit yang dibutuhkan keluarga dalam upaya menyesuaikan diri dengan kehadiran skizofrenia dalam system mereke. Beriktu merupakan beberapa hal penting yang dapat membantu penyesuaian diri keluarga.
  1. Informasi/Psikoedukasi
Informasi-informasi yang akurat tentang skizofrenia, gejala-gejalanya, kemungkinan perjalanan penyakitnya, berbagai bantuan medis dan psikologis yang dapat meringankan gejala skizofrenia, merupakan sebagian informasi vital yang sangat dibutuhkan keluarga.
  1. Sikap yang tepat: SAFE
Menurut Torrey (1988), keluarga perlu memiliki sikap yang tepat tentang skizofrenia – sikap-sikap yang tepat itu disingkatnya sengan SAFE: Sense of humor, Accepting the illness, Family balance, Expectations which are realistic.
  1. Support Group
Bila keluarga menghadapi skizofrenia dalam keluarga mereka seorang diri, beban itu akan terasa berat, namun bila para keluarga yang sama-sama memiliki anggota keluarga skizofrenia bergabung bersama, beban itu akan terasa lebih ringan.
  1. Family Therapi à Object relations Family Therapy
Family therapy dapat menjadi bagian dari rangkaian upaya membantu keluarga agar keluarga menjadi suatu system, meningkat kohesivitasnya serta lebih mampu melakukan penyesuaian diri.
Object Relations Family Therapy untuk Meningkatkan Kapasitas Holding Keluarga
            Pendekatan object relations pada dasarnya adalah suatu cara untuk mengolah dan memahami. Para anggota keluarga perlu berelasi satu sama lain; kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut merupakan kesulitan yang membentuk masalah mereka. Ketika ahli terapi bergabung dengan mereka, ia berusaha menawarkan cara yang lebih baik untuk berelasi satu sama lain serta membawa suatu cara pengolahan ke dalam keluarga, untuk memahami object relations tak sadar yang menghambat perkembangan keluarga.
1.      Interaksi Ahli terapi dengan Anggota Keluarga
Ahlli terapi harus memiliki akses yang lebih baik pada area-area yang direpresi dalam dirinya sendiri. Ahli terapi bergantung pasa kematangan dan pemahaman dirinya yang lebih matang. Dengan kata lain, ahli terapi dapat berinteraksi dengan anggota keluarga dalam centeres area atau core relating.
Projective Identification
Batu bata pembangun komunikasi adalah projective identification, kareba melalui cara inilah masing-masing dapat membiarkan yang lain memasuki ruang interiornya.
1.      Pengertian Projective Identification
Projective identification adalah suatu proses psikologis sekaligus sebagai sejenis defense mechanism, suatu cara komunikasi, bentuk primitive object relations, dan jalan untuk perubahan psikologis.


2.      Tahap-tahap Projective Identification
Dalam tulisan ini, projective identification akan didiskusikan seolah-olah terdiri atas rangkaian tiga tahap. Pada kenyataannya, mtahapan-tahapan ini sebenarnya merupakan kesatuan yang berlangsung hamper secara simultan.
Tahap Pertama
      Pada tahap pertama ada keinginan proyektor untuk menyingkirkan bagian diri, baik karena bagian itu dirasakan mengancam menghancurkan diri dari dalam atau karena individu merasa bahwa bagian itu berada dalam bahaya diserang oleh aspek lain diri dan mestu dilindungi dengan cara “disimpan” dalam diri orang lain yang melindungi.
Tahap Kedua
      Pada tahap kedua proyektor memberikan tekanan pada penerima agar si penerima mengalami sirinya sendiri dan bertingkah laku yang kongruen dengan fantasi proyektif tak sadar dari proyektor.
Tahap Ketiga
Dalam tahap ini, si penerima mengalami dirinya sendiri sebagaimana digambarkan dalam fantasi proyektif. Bila si penerima dapat menghadapu perasaan yang diproyeksikan pada dirinya dengan cara yang berbesa dari metode yang digunakan proyektor, maka sekumpulan perasaan yabg baru muncul.
Contextual Transference dan Focused Tranference
Transferece pada kemapuan holding ayah/ibu disebut contextual transferece, sementara transference pada centered relating ibu disebut focused transference.
1.      The contextual Transference
Contextual transference ditujukan pada ahli terapi sebagai pemberi holding environment yang menampung kecemasan anggota keluarga. Ahli terapi menciptakan suatu ruang yang di dalamnya pasien dapat menjadi matang dan menbgembangkan kekuatan-kekuatan psikologis baru, yang mana sebelum pasien terhambat atau tak mampu.

2.      The Focused Transference
Ini merupakan momen kristalisasi dari transference neurosis. Sekali jenis attachment pada ahli terapu telah terbentuk, ahli terapi dapat melakukan tugas yang penting, karena sebelumnya dirinya adalah objek eksternal dan sekarang ia telah menjadi objek internal pasien.

3.      Shared Family Holding
Shared holding keluarga secar akeseluruhan menyerupai kombinasi pelukan ibu pada anaknya, dukungan ayah atas relasi ibu-anak, dan relasi marital antara ayah dan ibu. Dalam ruang inilah, ibu dan bayi bertatapan mata dalam suatu centeres relationhip. Dalam ruang ini, anggota-anggota keluarga memberikan materi dan pengalaman untuk objek internal masing-masing.
Teknik Melaksanakan Object Relations Familiy Therapy
Pelaksanaan object relations familiy therapy meliputi elemen-elemen sebagai berikut.
  1. Menetapkan Frame untuk terapi
  2. Mempertahankan Suatu Posisi Netral dan Tidak berpihak
  3. Menciptakan Ruang Kerja Psikologis
  4. Menggunakan Pribadi Ahli Terapi
  5. Penggunaan Tranfarance dan Countertransference
  6. Mengolah Mimpi dan Fantasi
  7. Menginteroretasikan defense Mechanism, Anxiety, dan Inner Object Relations
  8. Working Through
  9. Terminasi

Strategi Penanganan Burnout pada Karyawan Senior
Burnout adalah kondisi kelelahan fisik, mental, dan emosional yang muncul sebagai konsekuensi dari ketidaksesuaian antara kondisi karyawan dengan pekerjaanya.
Pengertian dan gejala Burnout
Istilah ini sebenarnya diperkenalkan oleh Bradley pada tahun 1969, namun tokoh yang dianggap sebagai penemu dan penggagas isltilah burnout adalah Herbert Freudenberger yang menulis tentang fenomena burnout pada tahun 1974.proses burnout dimulai dari adanya ketidakcocokan antara karakteristik karyawan dengan lingkungan dan desain pekerjaan ataupun kebijakan organisasi.



Sumber Burnout
            Maslach dan Leiter (1997) mengungkapkan bahwa sumber atau penyebab terjadinya burnout dapat ditelusuri ked ala enam macam bentuk ketidaksesuaian antara orang dan pekerjaannta, yaitu :
  1. Kelebihan beban kerja
  2. Kurangnya control
  3. System imbalan yang tidak memadai
  4. Terganggunya system komunitas dalam pekerjaan
  5. Hilangnya keadilan
  6. Konflik nilai


Karakteristik karyawan Senior
            Schabrag dan Winnubst (1996) memberikan batasan dari sudut usia bagi karyawan senior, yaitu mereka yang berusia antara 50-65 tahun. Ditinjau dari sudut psikologi perkembangan, rentang usia tersebut termasuk dalam tahap madya.
Karyawan senior Rentan Terhadap Burnout
            Proses terjadinya burnout pada karyawan senior memang tidak terjadi seketika dan tidak bersifat akut. Hal tersebut dapat saja terjadi pada usia sebelumnya. Namun demikian, perubahan fungsi-fungsi fisik dan mental serta krisis kehidupan yang mereka alami menjadi factor yang memperbesar dan mempercepat serta memperparah gejala-gejala burnout

Strategi Penanganan
  1. Dimulai dari Organisasi
  2. Menciptakan Paradigma Baru
  3. Pendekatan Indivisual
  4. Memperbaiki Kebijakan Organisasi


Perkembangan Anak, Konseling dan Psikoterapi
            Stimulasi menjadi sesuatu yang penting dan dibutuhkan oleh anak, namun dalam memberikan stimulasi perlu memperhatikan waktunya yang tepat, yaitu pada saat anak siap untuk dan sensitive untuk meperoleh stimulasi dari luar. Dalam upaya memberika stimulasi, beberapa hal berikut perlu di hindari.
  1. Perangsangan yang diberikan terlalu dini
  2. Perangsangan yang diberikan terlalu lambat
  3. Perangsangan yang diberikan secara tidak terpadu
Konseling
            Dalam suatu keadaa, manusia perlu memperoleh bantuan dalam bentuk konseling. Konseling adalah kegiatan bantuan secara professional dan bukan sekadar bantuan sesaat, bantuaninsidental, atau bantuan yang hanya mengandalkan pada belas kasihan. Bidang cakupan yang begitu luas membutuhkan pendidikan khusus, pendidikan profesi yang memberkan kualifikasi dan kewenangan, hak dan kewajiban melalui kode etik untuk bertindak sebagai konselor, ahli psikoterapi. Psikolog klinis, psikolog konseling, psikiater, ahlu terapi keluarga.

Psikoterapi
            Psikoterapi berawal dari upaya untuk menyembuhan pasien yang menserita penyakit jiwa dan sudah dilakukan sejak zaman dahulu kala berabad-abad yang lalu. Psikoterapi berangkat dari suatu kenyataan bahwa manusia sebagai makhluk social sangat bergantung dan membutuhkan pertolongan dari orang lain agar dapat melangsungkan kehidupannya.
            Psikoterapi yang sudah lama dikenal dan dimanfaatkan secara meyakinkan untuk membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan karena mengalami keguncangan dalam dirinya, dalam kenyataannya masih belum menjadi profesi yang lazim dilakukan oleh para psikolog kita.